The International , event tahunan terbesar untuk DOTA 2 terkenal dengan prize pool yang megah ternyata menyimpan " efek domino " yang buruk bagi masa depan DOTA 2 itu sendiri. Dilansir dari Kotaku kemarin (31/7), yang mencoba menjelaskan bagaimana The International akan membuat scene DOTA 2 semakin buruk dan merusak masa depannya.
The International merupakan turnamen tahunan yang diselenggarakan untuk DOTA 2 , dengan prize pool terbesar dibandingkan eSports lainnya, 21 juta USD (303 miliar Rupiah ) dan terus meningkat saat ini. Tidak seperti Overwatch League dan League of Legends , The International tidak mengandalkan sponsor ataupun hak siar media. Turnamen mereka sepenuhnya dibiayai oleh fans, membuat hadirnya sistem demokrasi dalam skala turnamen internasional. Bagi fans, selebrasi tahunan untuk DOTA 2 ini, tidak pernah tercoreng oleh keserakahan perusahaan, bahkan bisa menyediakan prize pool lebih dari 20 juta USD setiap tahunnya.
Namun sisi lain dari The International yang membuat DOTA 2 adalah tempat yang keras untuk turnamen adalah tim dan kebanyakan player mengandalkan sepenuhnya turnamen ini untuk kehidupan mereka. Terlepas dari semua gemerlap yang hadir di The International , banyak sekali bukti bahwa turnamen terbesar DOTA 2 ini menyakitkan dan tidak membantu DOTA 2 secara keseluruhan.
Permasalahan ini adalah tentang uang. Ekosistem eSports sangatlah kompleks dan kepentingan bisnis para partisipannya (player, tim, EO, publisher, dan lain-lain) tidak bergerak segaris. Turnamen punya caranya sendiri untuk mendapatkan uang, sama halnya dengan tim memiliki cara berbeda. Idealnya, model bisnis ini tidak mempengaruhi satu dengan yang lainnya, namun dalam prakteknya, mereka seringkali bersinggungan.
Salah satu cara untuk mengerti sejarah dari eSports adalah membawa kepentingan-kepentingan ini dan mengurutkannya. Melakukan sistem franchise ala League of Legends dan Overwatch merupakan salah satu strateginya, meskipun terdapat kelebihan dan kekurangannya. Namun Valve punya cara tersendiri untuk mengatur DOTA 2 .
CEO Valve, Gabe Newell membeberkan filosofinya dalam membangun perusahaannya ketika memberikan seminar pada tahun 2013 di University of Texas , "Tugas kami adalah untuk memaksimalkan produktifitas user dalam membentuk konten kreatif dan beri layanan. Market nantinya akan menentukan harga bagi setiap aktifitas tersebut. Cara ini akan membuat semakin banyak variasi dan nilai yang dibuat oleh setiap orang."
Dalam kata lain, Valve tidak menciptakan produk melainkan menciptakan market. Berdasarkan pemikiran dari Newell , mekanisme dari free market akan membuat semua pihak di DOTA 2 ke dalam satu urutan. Namun pada faktanya, hal ini tidak selalu berjalan dengan pemikirannya, misalkan dengan adanya intervensi dari Valve setiap tahunnya. Mengasumsikan The International seperti black hole , yang menyedot semua benda di sekitarnya dan memaksa semua masuk ke orbit DOTA 2 . Efek dari distorsi ini terlihat mudah pada third-party tournaments dihadapkan dengan perbandingan yang tidak ada apa-apanya, membuat turnamen lain akan terlihat kecil jika dibandingkan dengan TI .
The International telah menjadi turnamen paling penting dalam DOTA 2 . Namun antara 2011 hingga 2017, ketika semakin banyaknya third-party tournaments yang berpartisipasi di dalam event DOTA 2, persentase dari total annual prize pool untuk DOTA 2 yang berfokus pada TI menurun dari 96 persen di 2011 menjadi hanya 55 persen di tahun 2016. Namun, untuk dua tahun belakangan ini, jumlah tersebut kembali meningkat, di mana The International 2017 meraih 65%, dan jumlah yang sama juga terlihat di tahun ini. Hal ini membuat semakin sulit bagai third-party tournaments unutk mendapatkan sorotan dari para fans ataupun player.
Organizer seperti ESL dan Beyond The Summit tidak lagi memiliki opsi sama dengan cara yang pernah mereka lakukan untuk meningkatkan pendapatkan saat Valve mengubah peraturannya. Sebelumnya, mereka bisa menggunakan sistem crowdfunding layaknya compendiums TI ataupun virtual goods berbau turnamen untuk bantu meningkatkan prize pool serta menutup biaya penyelenggaraan event offline. Namun sejak tahun 2016, Valve menghentikan mereka untuk melakukan hal tersebut.
Penyelenggara dan fans punya teorinya masing-masing kenapa Valve melakukan hal tersebut, namun jawaban paling simpel adalah karena jika third-party tournaments terlalu banyak menguras uang melalui crowdfunding sepanjang tahun, maka hal tersebut akan menganggu mereka saat " menyumbang " di TI . Ketika fans DOTA 2 melihat konsistensi peningkatan setiap tahunnya dalam prize pool TI yang dihubungkan dengan progres dari DOTA 2, namun jumlah player dan pendapatan yang menurun , tidak ada cukup bukti yang menunjukkan kalau " pie " tersebut semakin besar. Malahan, Valve hanya mengambil persentase terbesar bagi dirinya sendiri, atau jika dibilang " pie " tersebut bisa berkembang karena hanya akumulasi kapital.
Hasilnya? Third-party tournaments seringkali menemukan dirinya berada dalam paksaan untuk berkompetisi dengan peraturan yang tidak adil dengan perusahaan yang paling untung di dunia ini. Mengakibatkan " lingkaran setan " bagi para professional player yang semakin bergantung dengan The International , serta merendahkan third-party tournaments yang selayaknya bisa menyelamatkan mereka dari ketergantungan ini.
Pergerakan dinamis ini juga menghadirkan tantangan bagi para calon pemilik tim DOTA 2 . Tidak seperti eSports lain yang memiliki franchise, DOTA 2 tidak perlu banyak beban untuk dimasuki. Pemilik tim di League of Legends dan Overwatch harus membayar jutaan untuk slot franshise kemudian menyetujui peraturan tentang branding, staff serta kompensasi minimun. Hal berbeda di organisasi DOTA 2 saat ini, mereka bisa membayar player mereka dengan apapun yang mereka inginkan.